mentegaterbang
Kedua istilah tersebut, ikhwan dan akhwat lebih terasa akrab di telinga ketika saya duduk di bangku kuliah. Ketika masih jadi pelajar SMA, saya memahami bahwa dua kata tadi digunakan panggilan kepada laki2, yaitu ikhwan atau akhi dan kepada perempuan. Karena sering mendengarnya ketika berada di lingkungan remaja masjid SMA, pikir saya bahwa itu adalah salah satu ciri khas para aktivis remas yang notabene anggotanya waktu itu cukup bervariasi untuk memanggil temannya. Sejuk sekali rasanya hati ini ketika mendengar sesama muslim menyapa saudara seimannya sedemikian rupa. Benar2 memberikan efek yang kuat untuk meningkatkan rasa ukhuwah di antara umat Islam, pikir saya.

Ketika sudah jadi mahasiswa, dua kata itu ternyata masih juga sering saya dengar, terutama di kalangan aktivis sie kerohanian. Tapi ada sesuatu yang sedikit berubah dari sensasi pendengaran saya, rasa sejuk itu nampaknya sedikit terusik. Saya agak mengalami perubahan arah pemahaman tentang paradigma definisi non gramatikal ikhwan-akhwat. Entah kenapa kali ini berbeda.

Mungkin penilaian saya sangat subjektif tentang konsep ikhwan-akhwat, siapa sih yang disebut ikhwan, siapa yang akhwat. Kedua kata tersebut sama, yaitu saudara, saudara seagama, saudara se Islam, pikir saya pada awalnya. Namun nampaknya lingkungan saya saat ini lebih menitiberatkan identitas fisik untuk mengartikan kata tersebut. Secara kasar kalo boleh saya bilang, jika ada seorang muslim berpenampilan alim, memakai koko, celana cingkrang, ato mungkin berwajah alim, berkacamata, maka bisa dikatakan dia adalah seorang ikhwan. Begitu pula jika ada seorang muslimah memakai kerudung panjang, memakai rok, kita bisa mengatakan bahwa dia seorang akhwat. Meskipun kriteria-kriteria tersebut masih lebih longgar pada kategori laki-laki. Lalu bagaimana dengan para muslim dan muslimah yang tidak berpenampilan seperti itu..apakah tidak bisa disebut ikhwan dan akhwat juga??

Jika ditilik dari segi makna yang berarti saudara, semestinya mereka yang saya sebutkan terakhir juga bisa disebut ikhwan atau akhwat. Tak peduli bagaimanapun dia berpakaian, jika dia adalah orang Islam berarti dia ikhwan atau akhwat juga kan?! Mereka saudara seiman kita. Jika boleh berpendapat, saya berpikir bahwa pemanggilan seperti ini di sisi lain juga memiliki sisi negatif.

Ketika ada sebagian muslim yang dipanggil dengan panggilan sedemikian rupa namun sebagian muslim lain tidak, hati saya sedikit terusik karena ya itu tadi, saya berpikir bahwa semua muslim adalah ikhwan, semua muslimah adalah akhwat, kita semua satu ukhuwah. Lantas mengapa harus membedakan panggilan satu dengan lainnya jika sebenarnya maksud semua ini adalah demi menunjukkan rasa ukhuwah di antara umat Islam. Kenapa semakin memojokkan saudara-saudara kita yang masih terbilang ‘awam’ dengan tidak memanggil mereka dengan sebutan yang sama. Saya kira Islam sudah cukup terkotak-kotak tanpa adanya pembedaan ini.

Saya teringat kejadian yang bagi saya cukup menggelikan ketika saya dan teman-teman saya yang dipanggil akhwat sedang menonton sebuah konser di televisi. Teman saya berkomentar, “wah pantes banget nih orang jadi ihkwan”, ketika ditampilkan si vokalis band yang memang terlihat ‘alim’. Entah bagaimana caranya mendefinisikan apa sih yang dinamakan penampilan alim. Saya merasa geli karena berpikir, begitukah ikhwan itu, apakah harus mencapai beberapa kriteria fisik atau penampilan tertentu untuk pantas ‘dijadikan’ ikhwan, saudara seagama?? bukankah Allah tidak pernah menyeleksi penampilan hambanya untuk menjadi orang Islam. Lantas??

Sekali lagi saya katakan, memang pandangan ini sangat subjektif sifatnya. Apakah ini terdorong oleh rasa kecemburuan sosial karena pada kenyataannya saya memang tidak berpenampilan ‘akhwat’ dan karenanya saya harus memaklumi bahwa saya tidak dipanggil akhwat. Entah iya atau benar2 terlepas dari itu, yang jelas saya kurang sependapat dengan habit seperti ini. Kenapa kita tidak merangkul mereka, para saudara seiman kita yang masih awam, yang masih belum mengerti Islam secara utuh, dengan panggilan indah seperti akhi atau ukhti. Agar mereka tidak semakin ‘jauh’ dan akhirnya memisahkan diri dari para ‘akhwat’ dan semakin me-margin-kan diri dari pergaulan islami. Mengapa tidak kita hilangkan kesan eksklusif yang selama ini melekat pada diri para ‘akhwat’ dan ‘ikhwan’ yang memang menimbulkan rasa segan namun justru mungkin menjauhkan bagi beberapa orang. We are same, aren’t we, ukhti, akhi?!
Label: , | edit post
0 Responses

Posting Komentar